Makalah KOLUSI


K O L U S I
Di
S
u
s
u
n
Oleh:
Kelompok 4 (Empat)

Ketua Kelompok         : Edi Kurnia (140170060)

Anggota                      : Nanda Khairuna (140170048)
                          
                                      Khairul Alkani (140170051)
                          
                                     Asmaul Husna (140170057)

Jurusan                        : Teknik Informatika

Mata Kuliah                : PKN (Pendidikan Kewarganegaraan)



 

FAKULTAS TEKNIK
PRODI TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS MALIKUSALEH
2015

KATA PENGANTAR

Puji Syukur Marilah kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang telah melimpahkan Rahmat dan karuniaNYA kepada kita semua, sehingga melalui proses yang begitu singkat dan kerjasama yang baik, tugas makalah “Pendidikan Kewarganegaraan“  ini dapat diselesaikan.
Makalah ini dibuat dengan maksud untuk menyelesaikan tugas Pendidikan Kewarganegaraan yang berjudul “KOLUSI”, disamping itu makalah ini juga memberikan manfaat pengetahuan kepada kita semua tentang sebab akibat terjadinya Kolusi serta pencegahannya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Dosen pembimbing mata kuliah Kewarganegaraan yang telah memberikan bimbingan, dan semua pihak yang telah membantu, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Kami menyadari bahwa makalah yang disusun ini masih kurang sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semuanya yang sifatnya membangun sehingga untuk masa yang akan datang bisa lebih jelas dan lebih bagus.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah mendukung, membantu dan bekerja sama dalam penyusunan makalah (artikel) ini.


Penyusun,
kelompok 4(empat)

DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................................................................       i
Daftar Isi..........................................................................................................................................................................      ii
BAB I  PENDAHULUAN
1.1.          Latar Belakang.......................................................................................................................................      1
1.2.          Rumusan Masalah...............................................................................................................................      1
1.3.          Tujuan Penulisan Makalah.............................................................................................................      2
BAB II  PEMBAHASAN
2.1.      Pengertian  Kolusi.................................................................................................................................      3
2.2.      Macam-macam Kolusi.......................................................................................................................      5
1.      Kartel..................................................................................................................................................      5
2.      Pengawasan Harga....................................................................................................................      8
3.      Persetujuan.....................................................................................................................................      9
4.      Kolusi Terselubung.....................................................................................................................      9
2.3.                                                                                                                                                                                                                                                                     Penyebab Terjadinya Kolusi.........................................................................................................................................    10
Usaha Pemberantasan Kolusi.......................................................................................................................    11
Contoh Kasus Kolusi..........................................................................................................................................    12
Dampak dari Kolusi...........................................................................................................................................    15
Permasalahan dan Tantangan....................................................................................................................    16
Upaya Penanggulangan Kolusi...................................................................................................................    17
BAB III  PENUTUP
A.     Kesimpulan dan Saran............................................................................................................................    19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................................................    20

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.   Latar Belakang
Kolusi terjadi di dalam satu bidang industri di saat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk  pasar oligopoli, di mana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan memengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi  berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.

Dalam era reformasi sekarang ini, banyak terjadi kejahatan politik yang bahkan melibatkan pemimpin-pemimpin bangsa ini. Korupsi, kolusi, dan nepositisme atau sering disebut KKN telah merusak moral bangsa kita, banyak pihak masyarakat yang merasa dirugikan atau terkena dampak dari kejahatan tersebut. Kolusi merupakan salah satu kejahatan politik yang pelakunya sering disebut sebagai koruptor yang mementingkan kepentingannya sendiri tanpa memikirkan dampaknya bagi orang lain. Dampak kolusi itu sendiri juga merusak martabat dan moral bangsa Indonesia sebagai Negara kesatuan yang berpegang teguh pada ajaran Pancasila sebagai dasar Negara. Dalam artikel berikut akan dijelaskan pengertian KKN khususnya kolusi ,apa penyababnya dan juga upaya-upaya apa saja yang harus dilakukan untuk memberantasnya.

1.2.   Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Penjelasan tentang pengertian kolusi dan contoh dari kasus kolusi.
2.      Alasan kenapa terjadi kolusi.
3.      Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam memberantas kolusi.

1.3.   Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui pengertian dari kolusi.
2.      Mengetahui gambaran umum tentang kolusi.
3.      Mengetahui upaya yang dapat ditempuh dalam pemberantasan kolusi.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1.  PENGERTIAN KOLUSI
Dalam bidang studi ekonomi sendiri, kolusi ini sering sekali terjadi dalam satu bidang industri pada saat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama, kolusi ini paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoly, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan.
Salah satu kasus dari kolusi yang dilakukan secara berlebihan adalah kartel (istilah untuk kolusi tersembunyi), pada dasarnya kartel merupakan kelompok produsen independen yang bertujuan untuk menetapkan harga untuk membatasi suplai dan kompetisi, praktek kartel ini dilarang hampir diseluruh Negara. Akan tetapi, sebenarnya kartel ini tetap ada, baik dilingkungan nasional maupun internasional, formal atau informal.

Indonesia sebagai Negara yang berpancasila adalah salah satu Negara yang banyak terjadi kecurangan atau kejahatan politik seperti kolusi dalam system pemerintahannya yang paling hebat lagi adalah para pemimpinnya juga terlibat didalam kejahatan tersebut. Dalam hal ini kolusi dapat merusak moral bangsa dan martabat Negara.

Dalam ruang lingkup yang luas ada beberapa pengertian tentang kolusi, diantaranya adalah sebagai berikut:

·         Kolusi adalah suatu kerja sama melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.
·         Kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar.
·         Sedangkan pengertian kolusi berdasarkan UU No. 20 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara-negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, kolusi adalah pemufakatan kerjasama melawan hukum antar penyelenggara negara dan pihak lain, masyarakat ataupun negara.

Jadi secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan Negara.

Di Indonesia sendiri , kondisi tersebut sering terjadi dalam proyek pengadaan barang atau jasa tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh pemerintah.

Ciri-ciri kolusi jenis ini adalah:
ü  Pemberian uang pelicin kepada perusahaan tertentu oleh oknum pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu.
ü  Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2 P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara langsung.

Unsur-unsur Kolusi yaitu:
1.      Adanya pemufakatan atau kerjasama
2.      Secara melawan hukum
3.      Penyelenggaraan Negara

Konsekuensi dari pelaku Kolusi yaitu:
1.      Dapat menimbulkan fitnah
2.      Dapat memasang tumbuhnya budaya demokrasi dan transparansi
3.      Mengganggu hak asasi manusia
4.      Pelaku dan pihak-pihak terkait patut mendapatkan sanksi hukuman yang berat
5.      Dapat merosotkan nama baik bangsa dan negara
6.      Pemerintah banyak menanggung kerugian yang dapat menimbulkan krisis multidimensi.

2.2.  MACAM-MACAM KOLUSI
A.        KARTEL
Kartel adalah kelompok  produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi. Berdasarkan hukum anti monopoli, kartel dilarang di hampir semua negara. Walaupun demikian, kartel tetap ada baik dalam lingkup nasional maupun internasional, formal maupun informal. Berdasarkan definisi ini, satu entitas bisnis tunggal yang memegang monopoli tidak dapat dianggap sebagai suatu kartel, walaupun dapat dianggap bersalah jika menyalahgunakan monopoli yang dimilikinya. Kartel biasanya timbul dalam kondisi oligopoli, dimana terdapat sejumlah kecil penjual dengan jenis produk yang homogen.
Kartel dilakukan oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh market power. Market power ini memungkinkan mereka mengatur harga produk dengan cara membatasi ketersediaan barang di pasar, pengaturan persediaan dilakukan dengan bersama-sama membatasi produksi dan atau membagi wilayah penjualan.

·         Bentuk kartel yang standar adalah menetapkan peraturan dan hukuman yang disepakati anggota dan menempatkan beberapa staf untuk mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
·         Pengawasan meliputi : harga, output, diversifikasi produk, investasi dan pengumpulan keuntungan.
·         Contoh : Kartel pemasaran

Secara umum, dikenal ada beberapa  jenis kartel, misalnya kartel harga, kartel kuota, kartel rasionalisasi, kartel pembeli, kartel tender, kartel standar, kartel kondisi. Dalam hukum kartel Indonesia, dikenal juga adanya kesepakatan horizontal dan kesepakatan vertical. Contoh kesepakatan horizontal adalah penetapan harga, pembagian wilayah, atau persekongkolan. Ketiga hal ini sering disebut dengan Cartel Hardcore, yang dilarang secara per se rule. Contoh kesepakatan vertical, misalnya penetapan harga vertical, sistem franchise, dan sistem distribusi selektif.

Kartel merupakan jenis perjanjian yang dilarang yang sering ditemukan didalam praktek. Praktek kartel yang sering dilakukan di Indonesia biasanya secara terselubung, dengan menggunakan nama asosiasi pelaku usaha tertentu. Contoh kartel dapat terwujud ke dalam beberapa praktek, yaitu :

1.      Pelaku usaha untuk yang bergabung dalam asosiasi industry jasa transportasi yang menetapkan tariff seragam untuk jasa transportasi yang diberikan;
2.      Pelaku usaha sejenis membuat kesepakatan yang isinya membatasi produk misalnya melalui pembagian kuota diantara mereka, dan kemudian menaikan harga atau mencegah penurunan harga;
3.      Pelaku usaha sejenis membuat kesepakatan untuk membagi wilayah pemasaran bagi masing – masing pelaku usaha sehingga melemahkan pesaingan usaha di antara mereka, dan kemudian menaikkan harga atau mencegah penurunan harga;
4.      Pelaku usaha sejenis membuat kesepakatan untuk membagi pangsa pasar di suatuy wilayah pemasaran bersama, sehingga dapat menaikan harga atau mencegah penurunan harga;
5.      Pelaku usaha sejenis mendirikan agen pemasaran bersama, sehingga dapat menetapkan harga, jumlah pasokan, wilayah pemasaran, dan atau pangsa pasar produk dari masing – masing pelaku usaha, sehingga melemahkan persaingan usaha diantara mereka, dan kemudian dapat memberikan keuntungan lebih kepada masing – masing pelaku usaha pembentuk agen pemasaran bersama tersebut.
6.      Pelaku usaha sejenis membuat kesepakatan menetapkan harga penawaran kepada ke pemasok atau pemberi proyek.

Penegakan Hukum Kartel
Persoalan yang dihadapi dalam penegakan hukum kartel adalah sulitnya dalam menilai dan membuktikan telah dilakukannya perjanjian pendirian kartel terutama bila perjanjiannya secara lisan. Jadi meskipun perwujudan kartel dalam praktik cukup banyak,namun untuk memprosesnya secara hukum masih mengalami kendala dalam hal pembuktian. Hal ini juga dipengaruhi oleh praktik kartel yang seringkali terselubung, misalnya dalam wujud asosiasi-asosiasi, maupun konsorsium yang justru memperoleh dukungan dari pemerintah. Pelaku usaha dalm kartel (cartellis) akan melakukan strategi-strategi rahasia dan penuh konspirasi yang menguntungkan mereka, ketimbang melakukan persaingan usaha secara fair.
           
Mengenai pembuktian terhadap kartel, pasal 42 huruf d UU No.5 Tahun 1999 menentukan bahwa secara umum alat-alat bukti pemeriksaan oleh KPPU adalah berupa:
1)     keterangan saksi;
2)     keterangan ahli;
3)     surat dan atau dokumen;
4)     petunjuk;
5)     keterangan pelaku usaha

     sebagaimana diatur dalam hukum pembuktian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti tersebut tidak bersifat kumulatif, artinya harus dipenuhi semuanya, tetapi bersifat alternatif. Dipersyaratkan bahwa bila sudah dipenuhi dua alat bukti yang saling mendukung, maka sudah memenuhi batas minimal dalam pembuktian. Terkait hal tersebut, Pasal 183 KUHAP menetukan:

hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwahlah yang bersalah melakukannya”.

Oleh karnanya, walaupun alat bukti perjanjian tidak dapat diperoleh, masih ada alat-alat bukti lain yang dapat diajukan oleh KPPU. Selain itu, esensi perjanjian sebenarnya terletak pada perbuatan mengikatkan diri untuk melakukan kesepakatan-kesepakatan tertentuu. Jadi, KPPU dapat menunjukan adanya perjanjian lisan diantara pelaku usaha melalui catatan-catatan pertemuan, disertai bukti-buktiu adanya prilaku saling menyesuaikan dari perilaku usaha untuk melakukan pengaturan harga.

Terhadap pelaku kartel, KKPU dapat melakukan tindakan penegakan hukum sesuai ketentuan pasal 36,khususnya huruf b, d, j, dan l berikut ini :
(b)             melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat;
(d)             menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adnya praktik monopoli san atau persaingan usaha tidak sehat;
(j)               memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian dipihak pelaku usaha lain atau masyarakat;
(1)            menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
           
Terkait kewenangan-kewenangan yang dimiliki KKPU terutama dalam memeriksa kartel , dalam praktik KKPU telah melakukan berbagai penilaian dan analisis baik terhadap penyebab kessepakatan, struktur perusahaan,maupun dampak kartel. Sebagai contoh, dalam kasus kartel di Lini 2 Tanjung Priok, KKPU telah melakukan analisis terhadap faktor-faktor penyebab terjadinya kesepakatan harga (tarif) yang dilakukan asosiasi, juga mengkaji struktur industrinya, menganalisis kewenangan pemerintah dan regulasi yang mengatur kegiatan industri penunjang pelanuhan, serta menganalisis dampak kartel terhadap persaingan.

B.        PENGAWASAN HARGA
·         Yang paling umum adalah pengawasan terhadap masuknya perusahaan baru ke dalam pasar.
·         Para penjual dapat dibatasi ruang geraknya hanya pada satu sub pasar tertentu.

C.        PERSETUJUAN
·         Merupakan persetujuan penetapan harga antar perusahaan dengan tujuan memelihara agar harga stabil, standarisasi, kontraksi yang teratur dan mengurangi ketidakpastian

D.       KOLUSI TERSELUBUNG
Kolusi terjadi apabila kondisi-kondisi yang terjadi dipasar mendukung terciptanya suatu kolusi. Kolusi pada dasarnya dibedakan menjadi dua, yaitu kolusi yang bersifat formal dan kolusi bersifat informal. Kolusi yang tidak formal biasa disebut kolusi terselubung.  Para pelaku oligopoli akaan memiliki keinginan yang sama dalam persamaan penetapan harga jual serta persamaan biaya produksi sehingga dalam hal ini akan menyebabkan para pelaku oligopoli ini merasa bahwa mereka sebagai pelaku monopoli bersama. Dalam hal ini para pelaku oligopoli saling mengikat kontrak tertulis, memperluas organisasi dan pengawasan.

Biasanya dengan stategi “kepemimpinan harga” dimana para perusahaan hidup berdampingan dan mengikuti serta mendukung penetapan harga yang ditetapkan oleh salah satu perusahaan secara teratur.

Dalam pasar oligopoli, kepemimpinan harga dapat di kelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu:
a)             Pemimpin pasar merupakan perusahaan yang memiliki ongkos terendah,
b)             Pemimpin pasar merupakan perusahaan dominan,
c)             Pemimpin pasar yang bersifat Barometrik.


2.3.  PENYEBAB TERJADINYA KOLUSI

Dalam banyak hal, penyebab seseorang melakukan kolusi adalah karena ketergodaannya akan dunia materi atau kekayaan yang tidak mampu ditahannya. Ketika dorongan untuk menjadi kaya tidak mampu ditahan sementara akses ke arah kekayaan bisa diperoleh melalui cara berkolusi, maka jadilah seseorang akan melakukan kolusi. Jadi, jika menggunakan cara pandang penyebab kolusi seperti ini, maka salah satu penyebab kolusi adalah cara pandang terhadap kekayaan. Cara pandang terhadap kekayaan yang salah akan menyebabkan cara yang salah dalam mengakses kekayaan tersebut dan semakin banyak orang melakukan kesalahan dalam mengakses kekayaan maka semakin banyak pula orang yang melakukan kolusi.

Berikut adalah penyebab terjadinya Kolusi dalam berbagai ruang lingkup:
Ø  Dalam masyarakat: Himpitan ekonomi, seperti gaji lebih kecil dari kebutuhan yang makin meningkat, latar belakang kebudayaan atau kultur kerja atau lingkungan tempat tinggal.
Ø  Dalam pemerintahan: Monopoli Kekuasaan dengan wewenang pejabat yang absolut tanpa adanya mekanisme pertanggungjawaban, hubungan personal antara pemimpin dan bawahan yang tidak berdasarkan asas persamaan, tidak ada sistem kontrol yang baik, korupsi bagian budaya pejabat local.
Ø  Dalam pendidikan: Tradisi memberi disalahgunakan, sistem pendidikan mempraktekkan sistem gaya bank mengakibatkan pembodohan anak didik, kurikulum tidak kontekstual, gaji dan apresiasi terhadap pelaku pendidikan rendah.
Berikut ada beberapa faktor penyebab dilakukannya Kolusi:
1)     Hukum positif yang tidak tegas dan kurang konsisten.
2)     Munculnya keinginan menyalah gunakan kewenangan.
3)     Budaya ‘Menyenangkan’ hati pemimpin.
4)     Apatis masyarakat.
5)     Norma agama yang semakin luntur.

Setelah melihat dari beberapa penyebab kolusi diatas, dapat dikatakan bahwa masih perlu adanya peninjauan kembali terhadap system pemerintahan itu sendiri agar pancasila sebagai dasar Negara tidak terkontiminasi terhadap kejahatan kolusi.

Kondisi-kondisi yang mendorong adanya kolusi
Kolusi tentunya tidak diinginkan oleh sebagian besar masyarakat tenrunya para konsumen. Lain halnya dengan produsen, mereka berharap dengan adanya kolusi mereka dapat menambah keutungan. Walaupun tidak disukai masyarakat, kolusi dapat saja terjadi jika terbentuk suatu kondisi yang mendukung terjadinya kolusi. Kondisi pasar yang harus diwaspadai yang dapat menimmbulkan adanya kolusi adalah terjadinya pemusatan kekuatan pangsa pasar. Hal lain adalah adanya kesamaan biaya dalam produksi dan kesamaan permintaan dari masyarakat.
Keadaan-keadaan tersebut akan dibahas secara lebih mendalam. Keadaan-keadaan tersebut di atas tentunya sangat tidak diharapkan oleh masyarakat konsumen. Tetapi sebaliknya hal ini sangat diharapkan oleh para perusahaan produsen. Adakalanya perusahaan sengaja menciptakan kondisi-kondisi tersebut demi kepentingan sendiri.


2.4.  USAHA PEMBERANTASAN KOLUSI

Dengan adanya pemerintahan yang terdiri dari eksekutif dan legislative, maka yang diharapkan adalah terbentuknya pemerintahan yang kuat yang bisa menjaga eksistensi pancasila sebagai dasar Negara artinya mempunyai bargaining point terhadap pengambilan berbagai kebijakan pemberantasan tindak KKN terutama kolusi dan mempunyai kesamaan pandangan terhadap KKN sebagai musuh bersama, sama dengan apa yang diharapkan oleh rakyat Indonesia selama ini dengan selalu melakukan pengawasan-pengawasan social terhadap Pemerintahan.
Dalam menentukan langkah kebijakan yang akan dilakukan adalah:
·         Mengerahkan seluruh stakeholder dalam merumuskan visi, misi, tujuan dan indicator terhadap makna Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
·         Mengerahkan dan mengidentifikasi strategi yang akan mendukung terhadap pemberantasan KKN sebagai payung hukum menyangkut Stick, Carrot, Perbaikan Gaji Pegawai, Sanksi Efek Jera, Pemberhentian Jabatan yang diduga secara nyata melakukan tindak korupsi dsb.
·         Melaksanakan dan menerapkan seluruh kebijakan yang telah dibuat dengan melaksanakan penegakkan hukum tanpa pilih bulu terhadap setiap pelanggaran KKN dengan aturan hukum yang telah ditentukan dan tegas.
·         Melaksanakan Evaluasi , Pengendalian dan Pengawasan dengan memberikan atau membuat mekanisme yang dapat memberikan kesempatan kepada Masyarakat, dan pengawasan fungsional lebih independent. Sehingga tujuan yang diharapkan akan tercapai yaitu Pemerintahan yang bersih dan Penyelenggaraan Pemerintahan yang baik dengan melaksanakan seluruh langkah dengan KOMITMEN DAN INTEGRITAS terutama dimulai dari Kepemimpinan dalam Pemerintahan sehingga apabila belum tercapai harus selalu melakukan evaluasi dan melihat kembali proses langkah yang telah ditentukan dimana kelemahan dan kekurangan yang perlu diperbaiki.


2.5.  CONTOH KASUS KOLUSI

Kasus Kolusi Citibank Akui Ada Kolusi di Kasus Malinda
Jakarta, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kembali menggelar sidang kasus pembobolan dana nasabah Citibank dengaan terdakwa Inong Malinda Dee. Pengadilan mendengarkan kesaksiaan dari empat orang saksi dari Citibank Salah satu saksi yang diajukan ke pengadilan adalah Vice President Retail Bank Head Citibank Indonesia Meliana Sutikno. Ia mengatakan, tindakan yang dilakukan Malinda Dee tersebut merupakan kolusi yang dilakukan oleh banyak pihak. Meliana menceritakan, dalam sistem Citibank untuk melakaukan transaksi diatas Rp 300 juta harus melalui verifiaksi yang ketat. Nasabah harus mengisi formulir penarikan sendiri. Setelah itu, formulir tersebut juga harus melawati pemerikasaan teller. “Teller  bertugas untuk memastikan aakah data yang berasa di formulir itu benar atau tidak.” Kata  Meliana. Setelah dinyatakan benar dan lengkap, permohonan transfer itu akan ditindak lanajuti oleh bagian back office. Bagian back office inilah yang akan memindahbukukan dari rekening nasabah ke rekening tujuan yang tercatat diformulir. Menurut Meliana, sistem itu merupakan standar operasional prosedur (SOP) yang  berlaku di Citibank. Toh, Malinda berhasil menjebol sistem yang diterapkan bank asal Amerika Serikat tersebut. Bahkan, aksi yang dilakukan oleh Malinda tersebut sudah beralangsung selama empat  tahun sejak tahun 2007. Padahal, “Kami sellu ada audit internal secara berkala, tapi tidak  pernah bias mendeteksi hal tersebut.” Kata Meliana

Makanya Meliana meminta agar pengadilan bisa membongkar konspirasi yang dilakukan oleh banyak pihak tersebut. Meliana juga mengaku Citibank telah dirugikan hingga sebesar Rp 44 miliar dari kasus ini. Meski begitu pihak Citibank membantah jika dikatakan sistem engawasan bank atau internal kontrol disebut lemah. Kepala tim audit investigasi Citibank S. Pandiary Akbar dalam kesaksiannya mengatakan, berlarut-larutnya pembobolan dana Citibank itu terjadi karena tidak ada laporan dari nasabah. Padahal, nasabah selalu menerima laporan rekening yang diberikan Citibank secara rutin. Namun, para nasabah tidak ada komplain. Mendengar kesaksian tersebut, kuasa hukum Malinda, Batara Simbolon yakin jika kasus ini melibatkan banyak orang. Ia menduga ada keterlibatan atasan Malinda atau pejabat diatas teller Citibank yang harus ikut bertanggung  jawab. Ia menambahkan dari kesaksian Meliana menyebutkan ada sistem back office yang ikut dalam pencairan dana nasabah Citibank. Makanya Batara akan meminta kepada majelis hakim agar menghadirkan petugas back office tersebut ke persidangan untuk memberi kesaksian. Dalam kasus ini, selain Malinda ada tiga orang teller Citibank yang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Mereka adalah Dwi Haryanti, Novianty Iriane serta Batheria Panjaitan. Malinda sendiri didakwa telah memindahbukukan dana nasabah secara ilegal sebanyak 117 kali sejak tahun 2007 dari 34 rekening nasabah Citibank.

Implikasi Kasus Kolusi “Citibank Akui Ada Kolusi di Kasus Malinda”
Kasus pembobolan dana nasabah Citibank membuat kisruh berbagai pihak. Aksi saling tuduh menuduh atas kelalaian masing-masing pihak terus berlangsung. Kini standart operational procedure (SOP) Bank-bank di Indonesia mulai dipertanyakan. BI sendiri menilai kasus pembobolan dana nasabah Malinda Dee merupakan bentuk kolusi yang dilakukan. Oleh sebab itu, bank sentral berkilah kasus kolusi di industri perbankan tidak akan bisa terdeteksi menggunakan sistem dengan teknologi canggih apapun. Kalangan perbankan harus mampu membangun sistem dan lingkungan kontrol yang  baik, sehingga setiap bentuk dan keinginan untuk membobol bank akan dapat terdeteksi secara dini. Internal kontrol yang perlu dibangun adalah yang built-in seiring dan sejalan dengan transaksi yang dilakukan nasabah. Dengan demikian, setiap bentuk fraud atau tindakan amoral lainnya akan dapat dicegah atau kalaupun sudah terjadi, dapat dieliminasi, sehingga kerugian yang muncul dapat tereduksi sekecil mungkin. Tantangannya adalah membangun sistem built in control, sehingga setiap transaksi yang terjadi senantiasa dapat terawasi dengan baik, tanpa harus melampaui beberapa hari, sehingga terjadi akumulasi kerugian yang demikian besar. Pertama, dalam setiap transaksi perbakan harus diawasi oleh minimal satu atau lebih supervisor, sehingga setiap transaksi tidak dapat dilakukan hanya oleh seorang petugas bank. Dalam kalangan perbankan sudah dikenal adanya istilah dual control atau bahkan triple control, untuk mengontrol jalannya sebuah transaksi. Bagian operasional, misalnya, tidak bisa merangkap bagian customer service, karena keduanya saling melakukan fungsinya dual control. Tak aneh, kalau dalam pengucuran kredit muncul istilah komite kredit cabang (KKC) yang menggambarkan proses dual control itu.

Dalam transaksi real time gross setlement (RTGS) untuk pengiriman uang di atas Rp 100 juta, misalnya, selama ini sudah dibangun sistem kontrol ganda yang melibatkan tiga  pihak yang berbeda, yakni bagian construct (pelaksana penginputan data), kemudian supervisor I bagian pre-approval dan supervisor ke II final-approval (pejabat bank yang  berbeda). Dengan demikian, apabila ada kesalahan yang menuju ke tindak kejahatan, sebenarnya bisa dicegah sejak dini. Oleh sebab itu, apabila fungsi semacam ini belum ada di sebuah cabang, perlu dilakukan dan kalau sudah ada perlu dipertajam lagi. Kedua, seiring dengan terbentuknya sistem kontrol tersebut, perlu dibentuk tim audit internal, yang senantiasa mampu mengawasi setiap transaksi harian yang dilakukan petugas bank. Dalam kalangan perbankan dikenal dengan sebutan satuan kerja audit internal (SKAI). Ke depan, setiap kantor cabang sebuah bank, idealnya dilengkapi dengan petugas SKAI, sehingga setiap bentuk kejahatan akan dapat tercium dan terdeteksi secara dini, tanpa harus  berlangsung berhari-hari, bahkan berbulan-bulan, sehingga akumulasinya akan semakin membesar. Tim ini langsung di bawah kantor pusat, sehingga tidak memiliki kepentingan dengan target-target cabang dan obyektif. Tugas utama SKAI adalah mengecek kebenaran dan keakuratan transaksi yang terjadi  pada hari itu. Jadi, semua transaksi yang mulai dari start of day hingga end of day diperiksa kebenaran dan keabsahannya. Jika ada yang mencurigakan dan aneh, petugas SKI bisa langsung menelusurinya pada hari berikutnya tanpa harus menunggu beberapa hari. Petugas SKAI tidak berada di bawah Kepala Cabang, namun bertanggung jawab langsung kepada direksi. Dengan demikian, indepensinya tidak perlu diragukan lagi. SKAI pada dasarnya kepanjangan tangan audit Kantor Pusat di kantor cabang. Dengan terbentuknya pengawasan yang built-in tersebut, maka pengawasan eksternal (baik dari kantor pusat maupun dari BI) hanyalah sebagai kontrol sekunder. Toh, pengawasan eksternal ini juga tidak bisa efektif dilakukan setiap hari, paling dilakukan secara acak. Kendati demikian, BI sebagai otoritas pengawas perbankan tetap harus lebih meningkatkan frekuensi pengawasannya terhadap bank-bank, baik kualitas maupun kuantitasnya ke semua cabang. Sehingga, sistem pengawasan berlapis (ganda) akan tercipta dengan sinergis. Kalau ini yang terjadi, berbagai tindakan nakal dan amoral (baik dari nasabah maupun dari kalangan internal) akan bisa dikurangi secara drastis. Dengan adanya kasus pembobolan dana yang sering terjadi di perbankan Indonesia di harapkan dapat segera teratasi sehingga industri  perbankan dapat selalu percaya oleh masyarakat dan mendukung perkembangan  perekonomian Indonesia.


2.6.  DAMPAK DARI KOLUSI
1.        Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
2.        Ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
3.        Pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
4.        Ketidakadilan di berbagai bidang.
5.        Penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan kesengsaraan pihak lain.
6.        Ketidakselarasan antara fungsi, tujuan, dan mekanisme proses (sesuai prosedur dan hukum) dengan praktiknya.
7.        Kesenjangan sosial.
8.        Mendapat hukuman bagi pelaku KKN.
9.        Pelanggaran hak-hak warga negara.
10.    Ketidakpercayaan rakyat pada aparat negara.
11.    Kesejahteraan umum Negara menjadi tergganggu
12.    Demokrasi menjadi tidak lancar
13.    Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
14.    Korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan.
15.    Korupsi berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak.
16.    Menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi.
17.    Sebagai akibat dampak pertama dan kedua, maka korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.
18.    merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara.
19.    merangsang untuk ditiru dan menjalar di lapisan masyarakat sehingga memberikan dampak negatif


2.7.    PERMASALAHAN DAN TANTANGAN

Dalam pelaksanaan pencegahan Kolusi, beberapa permasalahan dan tantangan yang dihadapi antara lain :

1)             Hambatan struktural, yaitu praktek-praktek penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan pencegahan  Kolusi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi:

a)    Egoisme sektoral dan institusional yang menjurus pada pengajuan dana  sebanyak-banyaknya untuk sektor dan instansinya tanpa memperhatikan kebutuhan secara makro. serta berupaya menutuptutupi penyimpangan-penyimpangan yang terdapat di sector dan instansi yang bersangkutan;
b)    Belum berfungsinya fungsi pengawasan secara efektif;
c)    Lemahnya koordinasi antara aparat pengawasan dan aparat penegak hukum;
d)    Lemahnya sistem pengendalian intern yang memilki korelasi positif dengan berbagai penyimpangan dan inefisiensi dalam pengelolaan kekayaan negara
e)    Rendahnya kualitas pelayanan publik.

2)     Hambatan Kultural, kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya meliputi:
a)      Sikap sungkan dan toleran diantara aparatur pemerintah yang dapat  menghambat penanganan permasalahan  Kolusi;
b)      Kurang terbukanya pimpinan instansi sehingga terkesan toleran dan melindungi pelaku Kolusi; 
c)      Campur tangan eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam penanganan tindak pidana Kolusi; 
d)      Rendahnya komitmen untuk menangani Kolusi secara tegas dan tuntas; 


2.8.  UPAYA PENANGGULANGAN KOLUSI
1.        Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansipemerintah maupun swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau milik negara.
2.        mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh wewenangnya.
3.        Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
4.        Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan.
5.        menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
6.        hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense ofbelongingness” dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasaperuasahaan tersebut adalah milik sendiri dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.

BAB III
PENUTUP

3.1.    KESIMPULAN DAN SARAN

Perilaku perusahaan atau individu melakukan kolusi dengan  beberapa alasan. Namun hal yang paling utama adalah ingin mendapatkan keuntungan maksimal atas usaha yang dilakukan. Contoh kasus kolusi yang diangkat pada makalah ini menggambarkan bahwa kolusi terjadi untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan dapat dilakukan secara bersamaan. Kolusi ini merupakan tindakan negatif yang seharusnya tidak dilakukan, dan dalam pembuktiannya sulit dilakukan.

Jadi mari kita berpartisipasi secara progresif dalam pencegahan dan pemberantasan kebiasaan atau tindakan merugikan rakyat itu. Apalagi lembaga-lembaga pengawasan, termasuk internal pemerintahan seperti inspektorat, Irjen dan BPKP, tidak punya alasan apapun tidak ikut memerangi korupsi. Jadikan Negara ini Negara yang bermoral Negara yang tahu akan kepentingan bersama dan tetap menjaga eksisitensi dasar Negara Indonesia (Pancasila).

DAFTAR PUSTAKA


















Comments

Popular posts from this blog

Perulangan Dengan FOR, WHILE, DO-WHILE (cpp, C++)

Makalah ISBD Agama dan Masyrakat